Kenapa bung, orang sering menyamakan aku dengan Petruk? Apa karena aku kerempeng, tinggi, maka aku cocok disebut seperti Petruk. Bukankah aku punya nama sendiri, karakter sendiri dan punya sejarah hidup sendiri. Petruk itu anaknya Semar, Semar itu dewa yang mewujud sebagai rakyat biasa. Sejatinya dia adalah Ismoyo, saudaranya Betara Guru. Sedang aku lahir sebagai rakyat biasa, ayahku miskin, tinggal di bantaran kali bengawan Solo. Ayahku hidup susah, dia real sebagai orang biasa, bukan titisan dewa.
Orang senyebutku Petruk, mungkin sebagai olok-olok karena ada lakon wayang berjudul Petruk dadi Ratu (raja). Sedangkan aku bukan raja, aku presiden yang dipilih dalam sistem demokrasi. Dalam sistem politik demokrasi, aku mengawali karier politik dari bawah. Gagal sebagai calon anggota legislatif, mendaftar sebagai pimpinan daerah. Mencalonkan dua kali, menang terus, tanpa duit banyak dan tidak sogok-menyogok. Tidak menggunakan jalur nomor piro wani piro (NPWP).
Setelah menjadi pimpinan daerah, mencoba nasib ke ibukota negara. Modal wani, jujur dan niat baik. Aku jadi gubernur belum 5 tahun, didorong, dibukakan jalan, disodok – sodokkan maju sebagai presiden dan menang. Bukan uang banyak yang membuatku mencapai kedudukan orang nomor satu di Republik Indonesia. Tapi karya nyata, kerja keras serta amanah. Tujuan baik ada jalannya. Aku membaca sejarah para pemimpin terdahulu yang mantap tujuannya membangun negeri, mereka adalah orang-orang yang bekerja keras, fokus pada pekerjaannya. Tidak takut dihujat, tidak ingin menyombongkan diri, tetap prihatin. Puasa Senen – Kamis, tidak kemaruk. Mumpung berjaya, makan apa saja. Makan nasi dengan lauk lima macam sepertimu, bung, pasti bengkak badannya. Saya digambarkan sebagai Petruk karena setelah jadi presiden, tetap kerempeng.
Apa karena Petruk anak Semar, punokawan yang dianggap sebagai orang kecil, wong cilik, rakyat kebanyakan. Begitu mendapatkan jabatan tinggi, setelah menjadi pimpinan tertinggi, terus kemaruk. Petruk jadi Raja bergelar Kantong Bolong. Menjadi raja karena niatnya coba-coba, ingin merasakan rasanya jadi raja. Kuasa, dilayani dan bisa mewujudkan aji mumpung. Mumpung berkuasa menikmati indahnya dunia. Petruk menyalah gunakan kekuasaan, tidak amanah. Maka Petruk berkuasa tidak sampai dua periode. Sebentar terus badar. Badarnya sangat sederhana, hanya digelitikki perutnya oleh Bagong, akhirnya badar. Petruk yang asli keliatan wujud aslinya. Petruk sang raja ternyata titisan raja murka.
Aku bukan Petruk, bung, aku Joko Widodo. Walaupun aku sudah jadi Presiden dua periode, aku tetap patuh pada hukum. Aku tidak ingin berkuasa selama 32 tahun. Juga tidak ingin disebut bapak revolusi. Paduka yang mulai pemimpin seumur hidup. Tidak. Aku hanya ingin menggunakan sedikit kebisaanku berpolitik, ikut “cawe-cawe” dalam pilihan presiden tahun depan. Agar karyaku yang sudah dengan susah payah aku kerjakan tidak mangkrak. Kalau sampai mangkrak yang rugi bukan aku pribadi tapi bangsa Indonesia, rakyat dan negara Indonesia. Atas dasar itu aku ingin “cawe-cawe” agar penggantiku meneruskan apa yang sudah aku rintis. Mungkin itu terasa tidak etis. Mungkin kurang baik bagi pembelajar demokrasi. Maafkan bung. Tapi aku tidak melanggar hukum. Dan aku tidak menutup mata terhadap suara keras yang menghujatku. Aku diibaratkan sebagai Petruk Kantong Bolong, Fir’un, Mr. Plonga-Plongo, bahkan sebagai bajingan tolol. Biar saja, itu tetap ku apresiasi. Fokusnya saya terus bekerja. Melakukan pekerjaan yang telah disepakati bersama DPR dan eksekutif. Tidak ada pemimpin yang sempurna. Maha Patih Gajah Mada saja ada kekurangannya. Tetapi jasanya jauh lebih banyak dari pada kekurangannya. Siapa berani berkata bahwa Sukarno tidak bersalah, Suharto tidak bersalah? Semua pasti pernah bersalah. Kanjeng Nabi Muhammad SAW saja pernah ditegur Alloh, karena bersalah. Jadi jangan takut bersalah kalau menjadi pemimpin, biarlah aku bersalah tetapi rakyatku menikmati pembangunan.
Aku tetap menjaga amanah bung, tentu kalau tidak amanah aku akan terjulkan. Sabar sedikit, aku akan digantikan oleh pemenang pilpres.
Sekarang orang ribut karena “cawe-cawe” Ku dalam Pilpres ini, cawe-cawe demi berlangsungnya pembangunan yang berkelanjutan. Aku ingin dalam kompetisi ini berjalan baik, bersaing sesama anak bangsa. Yang kalah dan yang menang tetap bersatu. Aku telah mencontohkan lawanku kurangkul menjadi sekutuku. Sekarang yang dulu menjadi lawanku sekarang menjadi sekutuku. Mestinya rakyat tahu bahwa yang dulu lawanku sekarang sekutuku. Ada anakku disitu,yang akan meneruskan pembangunan IKN, kereta cepat dan hilirisasi. Program BLT, guru honorer dan program untuk para Santri akan terus ditingkatkan.
Aku bukan Petruk.
Isti Nugroho